Sejarah Singkat Signalong Indonesia

Signalong Indonesia merupakan sebuah proyek bersama antara Universitas Negeri Surabaya, Indonesia dan The Open University, Inggris, dalam mengeksplorasi pengembangan Keyword Signing System (KWS), selanjutnya diterjemahkan Sistem Isyarat Berbasis Kata Kunci (SIBKK)  untuk mendukung pembelajaran di kelas inklusif. Sebagai bagian dari ini, lokakarya dan seminar guru di Jawa Timur mengkaji berbagai pendekatan SIBKK dan memilih Signalong UK (Signalong Group 2012) sebagai model.

Signalong UK memiliki beberapa fitur yang dirasa bermanfaat dalam konteks Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan 'satu kosa isyarat: satu konsep', di mana setiap konsep memiliki isyarat yang berlainan. (Sebaliknya beberapa pendekatan SIBKK menggunakan isyarat yang sama untuk menunjukkan lebih dari satu konsep misalnya untuk 'tempat tidur' dan/atau 'tidur'). Ini membuatnya lebih mudah diakses oleh anak-anak dengan kesulitan belajar yang berat yang mengalami masalah dengan diskriminasi konsep dan generalisasi (Budiyanto,dkk 2018)

Ciri khas lainnya adalah penggunaan bentuk tangan khusus yang dapat dideskripsikan untuk setiap isyarat. Hal ini memastikan konsistensi isyarat yang dapat dipelajari secara mudah oleh semua orang, termasuk melalui pesan teks atau telepon, sebuah isu penting di Indonesia yang merupakan negara yang beragam secara geografis dan budaya.

Ada beberapa pilihan untuk memilih isyarat 'donor' Signalong Indonesia. Isyarat donor merupakan kosa isyarat yang menginspirasi kosa isyarat signalong Indonesia. Meskipun studi penelitian bahasa isyarat di Indonesia masih sangat sedikit (Isma 2012) dan jumlah bahasa isyarat tidak diketahui(Palfreyman 2011), banyak bahasa isyarat dan dialek bahasa isyarat terdapat sekitar726 bahasa lisan bangsa (Lewis, Simons, dan Fennig 2015).

Ada tiga bahasa isyarat yang terkenal. Isyarat Kolok adalah bahasa isyarat unik yang digunakan di seluruh komunitas tuli di Bali Utara. Ini memiliki sedikit hubungan linguistik dengan bahasa Bali atau bahasa Indonesia lisan (Kortschak dan Sitanggang 2010). Lebih luas lagi adalah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bahasa alami komunitas tuli Indonesia (Effendi 2014). Berbeda dengan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang mencerminkan bahasa Indonesia lisan dan menggabungkan kosa isyarat konsep dan penanda tata bahasa (misalnya sufiks) dan alfabet jari (Jan, Branson, dan Miller 2004). SIBI dipromosikan oleh Departemen Pendidikan sebagai bahasa untuk mengajar anak-anak tuli di sekolah khusus. Ada masalah yang sedang berlangsung untuk pengguna Kata Kolok dan BISINDO mengenai penggunaan SIBI (Kortschak dan Sitanggang 2010) dan haklinguistik Tunarungu (Branson dan Miller 1998).

Karenanya Signalong Indonesia (SI) bertujuan untuk digunakan di ruang kelas inklusif, tujuannya adalah agar semua anggota kelas dapat mengaksesnya, penggunaannya di dalam kelas dengan penggunaan seminimal mungkin, dan dapat digunakan di berbagai provinsi. Menggunakan bahasa alami tambahan seperti BISINDO atau Kata Kolok dapat membuat komunikasi menjadi kurang dapat diakses oleh guru dan murid yang berbicara Bahasa Indonesia. Masalah selanjutnya adalah bahwa BISINDO 'tidak standar' (Lewis, Simons, danFennig 2015) dan berubah (Isma 2012), dengan bahasa yang berbeda digunakan diberbagai daerah (Isma 2012). Sebaliknya, sistem standar isyarat tata bahasa kompleks SIBI membutuhkan isyarat yang cepat, ketangkasan dalam ejaan jari, dan tingkat pemahaman bahasa yang tinggi. Ini akan mengeyampingkan anak-anak berkesulitan belajar (Loncke 2014) dan kemungkinan beberapa murid Tunarungu (Effendi 2014). Oleh karena itu, kosakata SI awal (percontohan) mengacu pada standar Signalong UK dan kosa isyarat SIBI (sederhana) untuk mendukung kata-kata kunci yang digunakan dalam Bahasa Indonesia lisan di dalam kelas. Materi SI dikembangkandan diperkenalkan dalam lokakarya guru awal.

 

Referensi:

Branson, Jan, and Don Miller. 2004. “The Cultural Construction of Linguistic Incompetence Through Schooling: Deaf Education and the Transformation of the Linguistic Environment in Bali, Indonesia.” Sign Language Studies 5 (1): 6–38.doi:10.1353/sls.2004.0021.

Budiyanto, Kieron Sheehy, Helen Kaye & Khofidotur Rofiah (2018) Developing Signalong Indonesia: issues of happiness and pedagogy, training and stigmatisation, International Journal of Inclusive Education, 22:5, 543-559, DOI:10.1080/13603116.2017.1390000

Effendi, Juniati. 2014. "Deaf Community’s Demands Go Unheard." The Jakarta Post, February 23.

Isma, S. T. P.2012. Signing Varieties in Jakarta and Yogyakarta: Dialects or Separate Languages? The Chinese University of Hong Kong.http://www.cuhk.edu.hk/lin/new/doc/ma papers/macla/Silva 2011-12.pdf.

Kortschak, Irfan, and P. Sitanggang. 2010. “Invisible People: Poverty and Empowerment in Indonesia.” National Program for Community Empowerment.http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Invisible+People:+Poverty+and+Empowerment+in+Indonesia#0.

Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, and Charles D. Fennig. 2015. “Ethnologue: Languages of the World.” In Ethnologue: Languages of the World. 18th ed.https://www.ethnologue.com/ country/ID.

Loncke, F.2014. Augmentative and Alternative Communication: Models and Applications for Educators, Speech-Language Pathologists, Psychologists, Caregivers, and Users. San Diego, CA: Plural Publishing.

Signalong Group. 2012. “Signalong." http://www.signalong.org.uk/index.htm.